Pengertian Tumpek
Secara Etimologi Tumpek Berasal dari Kata “Tum”dan “Pek” Tum mengandung Arti Kesucian dan Pek berarti Putus atau Terakhir . Jadi tumpek adalah hari suci yang jatuh pada penghujung akhir Saptawara dan pancawara. Menurut sistem perhitungan wuku, satu siklus lamanya 210 hari, karena tiap wuku lamanya 7 hari (Saptawara) dikalikan banyaknya wuku yang berjumlah 30 jenis. Satu bulan wuku lamanya 35 hari, dan setiap akhir bulan wuku itu disebut tumpek. Perhitungan Saptawara kemudian dikombinasikan pula dengan Pancawara (lima hari) dan setiap tumpek adalah jatuh pada Kliwon. Sehingga ada 6 jenis tumpek yaitu 1.Tumpek Landep,
2.Tumpek Pengarah,
3.Tumpek Krulut,
4.Tumpek Kuningan,
5.Tumpek Kandang,
6.Tumpek Wayang.
Makna Tumpek Wayang
Pada Bahasan Kali ini kami akan membahas tentang Hari Raya Tumpek Wayang. Upacara Tumpek Wayang jatuh setiap 6 bulan (210 hari) sekali menurut kalender Bali jatuh pada Hari Sabtu / Saniscara Kliwon Wuku Wayang.
Secara Etimologi Tumpek Berasal dari Kata “Tum”dan “Pek” Tum mengandung Arti Kesucian dan Pek berarti Putus atau Terakhir . Jadi tumpek adalah hari suci yang jatuh pada penghujung akhir Saptawara dan pancawara. Menurut sistem perhitungan wuku, satu siklus lamanya 210 hari, karena tiap wuku lamanya 7 hari (Saptawara) dikalikan banyaknya wuku yang berjumlah 30 jenis. Satu bulan wuku lamanya 35 hari, dan setiap akhir bulan wuku itu disebut tumpek. Perhitungan Saptawara kemudian dikombinasikan pula dengan Pancawara (lima hari) dan setiap tumpek adalah jatuh pada Kliwon. Sehingga ada 6 jenis tumpek yaitu 1.Tumpek Landep,
2.Tumpek Pengarah,
3.Tumpek Krulut,
4.Tumpek Kuningan,
5.Tumpek Kandang,
6.Tumpek Wayang.
Makna Tumpek Wayang
Pada Bahasan Kali ini kami akan membahas tentang Hari Raya Tumpek Wayang. Upacara Tumpek Wayang jatuh setiap 6 bulan (210 hari) sekali menurut kalender Bali jatuh pada Hari Sabtu / Saniscara Kliwon Wuku Wayang.
Tumpek Wayang itu sendiri merupakan tumpukan dari waktu-waktu transisi dan hari itu jatuh pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon, Wayang. Saniscara merupakan hari terakhir dalam perhitungan Saptawara; Kajeng adalah hari terakhir dalam perhitungan Triwara; dan Kliwon merupakan hari terakhir dalam perhitungan Pancawara. Sedangkan Tumpek Wayang adalah tumpek terakhir dari urutan enam tumpek yang ada dalam siklus kalender pawukon Bali.
Tumpek Wayang adalah merupakan manifestasinya Dewa Iswara yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan ke hidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan
Tumpek wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, manusia oleh kebodohan, keangkuhan, keangkara murkaan, oleh sebab itu Siwa pun mengutus Sangyang Samirana turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya.
Orang yang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang atau Samirana, Hyang Iswara juga memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya tarik yang mampu memberikan sugesti kepada orang lain yaitu para penontonnya.
Pada hari Tumpek Wayang adalah Puja Walinya Sang Hyang Iswara. Hari ini umat Hindu di Bali menghaturkan upacara menuju keutamaan tuah pratima-pratima dan wayang, juga kepada semua macarn benda seni dan kesenian, tetabuhan, seperti: gong, gender, angklung, kentongan dan lain-lain.
Bebantennya yaitu : suci, peras, ajengan, sedah woh, canang raka, pesucian dengan perlengkapannya dan lauknya itik putih.
Upakara dihaturkan ke hadapan Sanghyang Iswara, dipuja di depan segala benda seni dan kesenian agar selamat dan beruntung dalam melakukan pertunjukan-pertunjukan, menarik dan menawan hati tiap-tiap penonton.
Untuk pecinta dan pelaku seni, upacara selamatan berupa persembahan bebanten: sesayut tumpeng guru, prayascita, penyeneng dan asap dupa harum, sambil memohon agar supaya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam menciptakan majunya kesenian dan kesusastraan. (Babad Bali)
Tumpek Wayang menjadi hari yang penuh dengan waktu-waktu peralihan, dan oleh karenanya anak-anak yang lahir pada saat ini ditakdirkan menderita karena mengalami gangguan emosi dan menyusahkan orang lain.
Untuk melawan akibat keadaan yang tidak menguntungkan itu, orang Bali melakukan upacara ”penebusan dosa khusus” yang dinamakan lukatan sapuh leger, dengan harapan Hyang Widhi akan menganugerahkan nasib baik pada anak itu dan menjamin bahwa hari ”lahir yang tidak baik” itu tidak akan berpengaruh buruk pada perkembangan selanjutnya
Hal ini dilakukan terkait dengan cerita Wayang sapuh Leger. Dalam Lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang(cf. Gedong Kirtya, Va. 645). Atas dasar isi lontar tersebut, maka anak yang lahir bertepatan dengan hari ini harus melaksanakan kegiatan upacara pementasan Wayang Sapuh Leger dengan peralatan yang lengkap berikut sesajennya. Menurut Mitos Umat Hindu Bali kenapa hari tersebut secara spasial sangat sakral, karena pada hari tersebut merupakan rentetan terakhir dari tumpek, maka dianggap angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan kala. Dewa Kala sendiri adalah hasil hubungan (sex relation) yang tidak dikehendaki dan wajar antara Batara Siwa dan istrinya Dewi Uma. Mereka melakukan tidak pada tempatnya yang disebut kama salah
Hipotesis yang menguatkan tentang latar belakang upacara nyapuh leger dengan media wayang kulit pada Tumpek Wayang adalah data sastra dalam naskah lontar. Salah satunya lontar Kala Purana berbunyi: ”… Muwah binuru sang Pancakumara; katekang ratri masa ning tengah wengi. Hana dalang angwayang, nemoning tumpek wayang, sang anama Mpu Leger. Sampun angrepakena wayang, saha juru redep/ gender/nya, wus pada tinabeh, merdu swaranya, manis arum….”.
Artinya, setelah dikejar sang Pancakumara oleh Dewa Kala, sampai menjelang tengah malam ada seorang pria/dalang bernama Mpu Leger mempertunjukkan wayang pada waktu Tumpek Wayang. Setelah menghadap di depan kelir segera juru gender membunyikan gamelannya, suaranya merdu dan nyaring….
Gelar Wayang Sapuh Leger pada saat Tumpek Wayang bersifat religius, magis, dan spiritual, yang berhubungan dengan wawasan mitologis, kosmologis, dan arkhais, sehingga memunculkan simbol-simbol yang bermakna bagi penghayatan dan pemahaman budaya masyarakat Bali. Simbol-simbol tersebut terungkap baik lewat lakon, sajian artistik, fungsi, sarana, dan prasarana yang digunakan.
Dalam konteks ritual, Wayang Sapuh Leger berfungsi sebagai pemurnian (furikasi) bagi anak/orang yang lahir pada hari yang oleh orang Bali dianggap berbahaya yaitu pada wuku Wayang, sehingga ia berfungsi sebagai pengukuhan atau pengesahan dari bentuk ritual keagamaan dan institusi-institusi sosial budaya masyarakat Bali.
Tumpek Wayang juga bermakna ”hari kesenian” karena hari itu secara ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan. Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang kulit, karena ia mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini, semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.
Demikian yang dapat Kami jelaskan tentang Makna dan fungsi Hari Raya Tumpek wayang semoga ada manfaatnya
bukankah tumpek pengertiannya Tampek = Dekat. Mendekatkan diri kepada sang pencipta sesuai dengan manisfestasinya !!
ReplyDeletetumpek asal kata tumampek ( kawi / bali). mendekat. yang diuraikan diatas kok jauh banget diartikan tumpek itu ? asal dari bahasa apa . ???
ReplyDelete