EKSISTENSI WAYANG SAPUH LEGER PADA HARI RAYA TUMPEK WAYANG

Setelah dibahas Mengenai makna Tumpek Wayang berikut akan coba saya bahas tentang Tumpek Wayang dan Pegelaran Wayang Sapu Leger. Seperti Yang telah dibahas pada sesion sebelumnya bahwa Tiap anak yang lahir pada Tumpek Wayang, terutama pada Saniscara Kliwon Tumpek Wayang akan diadakan pergelaran Wayang Sapuh Leger. Kedudukan hari-hari tersebut secara spasial sangat sakral karena merupakan rentetan terakhir dari tumpek yang menurut anggapan orang Bali adalah angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan kala. Secara mitologis wuku Wayang dianggap sebagai salah satu wuku yang tercemar/kotor, karena pada waktu inilah lahirnya seorang raksasa bernama Dewa Kala sebagai akibat pertemuan (sex relation) yang tidak wajar antara Batara Siwa dan istrinya, Dewi Uma. Mereka melakukan tidak pada tempatnya yang disebut kama salah. Dari karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali percaya bahwa setiap anak yang lahir pada wuku Wayang harus mendapatkan penyucian yang khusus dengan upacara sapuh leger serta menggelar wayang.
Pertunjukan wayang kulit yang ada sampai saat ini kenyataannya tidak dapat dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita mitologi. Hal ini dikisahkan karena isinya dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan lahir dan batin yang dipercayai serta dijunjung tinggi oleh pendukungnya.
Makna dari Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Ruwa Bineda, yang sudah barang tentu ada pada sisi kehidupan manusia . Dengan bercermin dari tatwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat. Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama sehari hari kita mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi untuk meruak atau melebur dosa didalam tubuh manusia,maka dari itu seorang Dalanglah yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam pikirannya maupun raganya.
Istilah sapuh leger berasal dari kata dasar “sapuh” dan “leger”. Dalam kamus Bali-Indonesia, terdapat kata sapuh yang artinya membersihkan, dan kata leger sinonim dengan kata leget (bahasa jawa) yang artinya tercemar atau kotor. Sehingga secara etimologi sapuh leger diartikan pembersihan atau penyucian dari keadaan tercemar atau kotor. Secara keseluruhan, wayang sapuh leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
Kata “Sapuh Leger” di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukkan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak/orang yang lahir tepat pada wuku wayang dalam siklus kalender tradisional Bali. Secara ritual upacara pemurnian dinamakan lukat/nglukat, yaitu suatu aktivitas untuk membuat air suci (tirta) yang dilakukan baik oleh seorang pendeta (pedanda/pemangku) maupun seorang dalang (Mangku Dalang) dengan tujuan untuk membersihkan mala (kekotoran) rohani seseorang. Kenyataannya di lapangan bahwa ada dua macam upacara pembersihan (nglukat) dengan sarana wayang kulit yakni Sudhamala dan Sapuh Leger. Sudhamala adalah pembuatan air suci (tirta panglukatan) yang dilakukan dalang setelah pentas wayang berakhir, ditujukan untuk pemurnian pada upacara keagamaan yang meliputi upacara panca yajna (dewa yajna, rsi yajna, pitra yajna, manusa yajna, dan butha yajna), sedangkan sapuh leger adalah pembuatan air suci (tirta panglukatan) yang dilakukan seorang dalang sehabis pertunjukkan wayang, ditujukan untuk pembersihan seseorang yang khusus lahir pada wuku wayang.
Pertunjukan wayang kulit di Bali secara tradisional memang erat kaitannya dengan upacara penyucian atau pembersihan, ditandai dengan keterlibatannya pada setiap upacara. Wayang selalu hadir pada setiap upacara baik sebagai bagian (wali) maupun sebagai pengiring (bebali) disamping jenis kesenian lainnya.
Sejarah Wayang Sapuh Leger
Dalam perjalanan sejarahnya suatu kenyataan bahwa asal mula wayang merupakan perabot sarana upacara keagamaan (ritus) pada zaman animisme nenek moyang kita. Dari kajian filosofisnya, wayang sarat dengan perlambang atau makna simbolik mengenai kehidupan dunia melalui siratan lakon atau perwatakan tokoh-tokoh wayang itu sendiri, sehingga ada kemungkinan untuk melakukan pangkajian filosofis terkait dengan makna kehidupan manusia. Analogi dengan pernyataan diatas, secara tradisi pertunjukkan wayang sapuh leger merupakan suatu peninggalan budaya kehidupan masyarakat Bali yang diadatkan dan dianggap sakral, maka ia termasuk wali (bagian upacara) diselenggarakan untuk upacara keagamaan (manusia yajna) yaitu untuk anak/orang yang lahir pada wuku wayang. Pertunjukkan ini berfungsi sebagai inisiasi, merupakan salah satu upacara ritus yang menyangkut keselamatan kehidupan umat manusia pendukung budaya tersebut. Hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun dalam perilaku kehidupan social masyarakat Bali, dengan peristiwa tetap secara periodik, berulang tiap-tiap 6 bulan (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali atau 7 bulan Masehi
Mitos asal-usulnya disebutkan dalam dua naskah lontar yaitu lontar Siwagama dan lontar Tantu Panggelaran. Dalam lontar Siwagama menyebutkan sebagai berikut: ”sinasa ring lemah, ryyarepaning saluagung, ginaweken pnggung Hyang Trisamaya, kumenaken kelirning awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksa de Sanghyang Brahma Wisnu, ginameling langon-langon, winahyaken lampah Bhatara kalih, Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira purwakaning hana ringgit ring Yawa mandala, tinonton ing wwang akweh”. Dalam terjemahan bebas artinya ”di bumi tepatnya di depan rumah Bale Gede, dibuatkan sebuah panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukkan wayang memakai kelir, Bhatara Iswara bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh Sanghyang Brahma dan Sanghyang Wisnu, diiringi gamelan Gender dan kecapi, menyanyikan lagu gula ganti, diikuti dengan gerak tari yang menawan, menceritakan perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang (ringgit) di bumi Jawa, orang yang menonton sangat banyak”.
Sementara itu lontar Tantu Panggelaran juga menyebutkan tentang asal mula pertunjukkan wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah sebagai berikut: ”…Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara pandah Bhatara Kalarudra: tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tattwa Bhatara mwang Bhatari ring bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka wayangnira, kinudangan panjang langonlangon. Bhatara Iswara sira hudipan, rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira ring bhuwana masang gina hawayang, tineher habandagina hawayang: mangkana mula kacarita nguni..”. Dalam terjemahan bebas artinya ”Para dewa menjadi takut, Siwa yang berwujud Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia. Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke bumi dan mengadakan pertunjukkan wayang. Mereka menceritakan siapa sesungguhnya Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukkan itu diadakan di atas panggung dengan kelir, sedangkan wayang-wayangnya dibuat dari kulit binatang yang diukir dan dipahat disertai nyanyian yang menawan. Iswara bertindak sebagai dalang, didampingi oleh Brahma dan Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan bermain musik dan memaikan wayang. Dengan ini terciptalah suatu pertunjukkan wayang kulit”.
Naskah lontar Siwagama dan Tantu panggelaran, cukup jelas menyebutkan adanya pertunjukkan wayang lengkap dengan aparatusnya. Walaupun secara ekspilisit disebutkan asal mula pertunjukkan wayang ada di Jawa (Yawa Mandala), namun secara implisit mendekati bentuk pertunjukkan wayang kulit di Bali. Hal itu ditandai dengan digelarnya wayang kulit di tempat khusus (Bale Gede), dalang dibantu 2 orang kanan dan kiri disebut katengkong/tututan, serta menggunakan iringan/gamelan gender. Ketiga dewa (Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu) sampai sekarang diyakini oleh dalang-dalang Bali membantu mensukseskan pertunjukkan wayang, hal ini jelas sekali tercantum dalam Dharma Pewayangan.
Cerita Lakon Sapuh Leger
Dalam Cerita Wayang Lakon Sapu Leger, diceritakan Dewa Kala akan memakan segala yang lahir pada wuku wayang (menurut kalender Bali) atau yang berjalan tengah hari tepat wuku wayang. Atas petunjuk ayahandanya Dewa Siwa, Dewa Kala mengetahui bahwa Dewa Rare Kumara putra bungsu dari Dewa Siwa lahir pada wuku wayang.
Pada suatu hari bertepatan pada wuku wayang, Dewa Rare Kumara dikejar oleh Dewa Kala hendak dimakannya. Dewa Rare Kumara lari kesana ke mari menghindarkan dirinya dari tangkapan Dewa Kala. Ketika tengah hari tepat, dan dalam keadaan terengah-engah kepayahan Dewa Rare Kumara nyaris tertangkap Bhatara Kala kalau tidak dihalangi oleh Dewa Siwa. Oleh karena dihalangi oleh Dewa Siwa maka Dewa Kala hendak memakan ayahandanya. Hal ini disebabkan karena Dewa Siwa berjalan tengah hari tepat dalam wuku wayang.
Diceritakan selanjutnya, Dewa Siwa rela dimakan oleh putranya Dewa Kala, dengan syarat Bhatara Kala dapat menterjemahkan dan menerka ini serangkuman sloka yang diucapkan Dewa Siwa. Bunyi sloka tersebut : “ Om asta pada sad lungayan, Catur puto dwi puruso, Eko bhago muka enggul, Dwi crengi sapto locanam” Dewa Kala segera menterjemahkan sloka itu serta menerka maksudnya ; “Om asta pada, Dewa Siwa berkeadaan kaki delapan, yaitu kaki Dewa Siwa enam kaki Dewi Uma dua, semuanya delapan, “Sad Lungayan, tangan enam yaitu tangan Dewa Siwa empat, tangan Dewi Uma dua semua enam, “ Catur puto, buah kelamin laki-laki empat, yaitu buah kelamin Dewa Siwa Dua, buah kelamin lembu dua,semuanya empat, “ Dwi puruso, dua kelamin laki-laki, yaitu kelamin Dewa Siwa satu, kelamin lembu satu, semuanya dua, “ Eka bhago, satu kelamin perempuan yaitu kelamin Dewi Uma, “ Dwi crengi dua tanduk yaitu tanduk lembu, “ Sapto locanam, tujuh mata yaitu mata Dewa Siwa dua, mata Dewi Uma dua, mata lembu dua, yaitu hanya enam mata tidak tujuh, mana lagi saya tidak tahu.
Dewa Siwa bersabda mataku tiga (Tri Netra) diantara keningku ada satu mata lagi, mata gaib yang dapat melihat seluruh alam ditutup dengan cudamani. Akhirnya Dewa Kala tidak dapat menerka dengan sempurna ini sloka itu, tambahan pula matahari condong kebarat, maka Dewa Kala tidak berhak memakan Dewa Siwa ayahandanya. Karena itu Dewa Kala meneruskan pengejaran kepada Dewa Rare Kumara yang telah jauh larinya masuk ke halaman rumah-rumah orang. Akhirnya, pada malam hari bertemu dengan seorang dalang yang sedang mengadakan pertunjukan wayang, Rare Kumara masuk ke bumbung (pembuluh bambu) gender wayang (musik wayang) dan Dewa Kala memakan sesajen wayang itu. Oleh karena itu, Ki Mangku Dalang menasehati Dewa Kala agar jangan meneruskan niatnya hendak memakan Dewa Rare Kumara, karena Dewa Kala telah memakan sesajen wayang itu sebagai tebusannya. Dewa Kala tidak lagi berdaya melanjutkan pengejarannya, sehingga Dewa Rare Kumara akhirnya selamat. Dengan demikian dikisahkan Dewa Rare Kumara sebagai mitologi bahwa anak yang lahir pada hari yang bertepatan dengan Wuku Wayang dianggap anak sukerta dan akan menjadi santapan Bhatara Kala, karena itu anak bersangkutan harus dilukat dengan tirta Wayang Sapuleger.
Makna Cerita Sapuh Leger
Dalam ajaran agama Hindu ada tiga penggambaran sifat manusia yaitu sifat satwam,sifat rajas dan sifat tamas. Ketiga sifat itu ada dalam diri manusia. Hanya yang menjadi titik permasalahan, dari ketiga sifat tersebut, sifat mana yang lebih ditonjolkan pada diri manusia. Jika sifat satwam yang ditinjolkan maka sifat Dewa Rare Kumara yang lebih dominan ditampilkan, dimana sifat Dewa Rare Kumara penuh dengan sifat welas asih, suka menolong dan penyayang, sehingga Dewa Rare Kumara menjadi suatu keyakinan serta kepercayaan bagi wanita Bali yang mempunyai anak kecil, bahwa Dewa Rare Kumaralah yang membantu dan memelihara anak mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Pelangkiran (tempat suci yang terbuat dari kayu) sebagai tempat memuja Dewa Rare Kumara, ditempatkan di kamar tidur si anak. Begitu pula sebaliknya, jika sifat rajas dan tamas yang lebih dominan pada diri manusia maka sifat Dewa Kala yang akan ditampilkan sehingga cenderung akan bersifat angkuh, rakus dan egoisme.
Didalam cerita sapuleger diungkapkan Betara Kala hanya mampu menebak dari badan fisik Dewa Siwa, seperti kaki beliau, tangan beliau, alat kelamin beliau dan sebagainya. Akan tetapi, Dewa Kala tidak mampu menebak mata ketiga dari Dewa Siwa. Kalau kita analisis kembali cerita sapuleger bahwa Dewa Kala hanya mampu melihat badan fisik dari Dewa Siwa, tetapi tidak mampu melihat dunia yang ada di luar kekuatan diri manusia atau kekuatan Tuhan. Sama halnya dengan manusia yang dipengaruhi oleh keinginan dan hawa nafsu dia hanya mampu melihat alam sekala (alam nyata) tetapi tidak mampu melihat alam niskala (alam maya).
Rare Angon
Manusia wajib menjaga keseimbangan ekosistem, sehingga kehidupan dapat berjalan serasi dan harmonis. Salah satu dari komponen ekosistem rusak atau terganggu, maka akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Di alam ini yang termasuk makhluk hidup adalah manusia, binatang dan tumbuh – tumbuhan. Manusia dikatakan memiliki tri pramana (tiga unsur kehidupan), yaitu bayu (tenaga), idep (pikiran) dan sabda (suara). Binatang memiliki dwi pramana yaitu bayu dan sabda, sedangkan tumbuh-tumbuhan memiliki eka pramana yaitu bayu saja. Karena manusia memiliki tiga pramana itulah sebabnya manusia dikatakan makhluk yang paling sempurna. Namun sebagai manusia, tetap harus menjaga alam lingkungan sekitarnya yang juga merupakan sebuah yadnya. Saling memelihara, mengasihi sesama makhluk hidup juga disebut yadnya. Aplikasi dari pemeliharaan lingkungan adalah melakukan yadnya pada Hari Tumpek Wariga atau Tumpek Ngatag atau Tumpek Penguduh yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari Sabtu Kliwon, Uku Wariga (kalender Bali). Tujuannya melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Sangkara sebagai manifestasinya dari Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Beliau yang menciptakan dan melestarikan semua tumbuh-tumbuhan yang memberi kesejahteraan bagi kehidupan di dunia.
Upacara yadnya yang mencerminkan pemeliharaan lingkungan selain tumbuh-tumbuhan adalah melalui hewan-hewan kecil seperti segala jenis unggas. Dilakukan setiap enam bulan yang disebut Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, jatuh pada Sabtu Kliwon, Uku Uye (Kalender Bali). Pada saat itu dilakukan persembahan kepada Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai Sang Rare Angon yang menguasai semua binatang besar maupun kecil. Perayaan tumpek kandang bermakna untuk mengendalikan sifat-sifat binatang yang kurang baik, seperti sifat liar, susah diatur, ingin selalu bermusuhan seperti sifat ayam, sifat malas seperti babi.
Lakon Dewa Kala (Batara Kala di Jawa) mendapat kedudukan yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Bali, karena lakon tersebut termasuk mitos yang diyakini dan dipercayai. Menurut Peursen, mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang karena mitos pada hakekatnya adalah cerita yang mengandung berbagai simbol dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat magis dan religius. Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, bahwa lakon Dewa Kala dalam pertunjukkan wayang sapuh leger adalah jenis cerita yang mengandung pasemon filosofik dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat magis-religius

Comments