Rohaniawan dalam agama Hindu menempati kedudukan yang
penting, peranan rohaniawan tampak sangat menonjol dalam penyelesaian suatu yadnya.
Lebih-lebih lagi dalam yadnya yang cukup besar akan terasa
kurang sempurna bila tidak diantar oleh rohaniawan yang dipandang sesuai untuk
itu. Dalam kehidupan umat Hindu di Bali dikenal ada tiga unsur utama yang
berperanan dalam pelaksanaan suatu yadnya :
2.
Pancagra atau sang widya, adalah
para tukang yang berperanan dalam menyiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan
dalam bentuk upakara;
3.
Sadhaka, adalah para rohaniawan yang bertugas mengantarkan
yadnya teersebut denganpuja, seha, mantra dan wedanya.(Tim
Penyusun, 2002 : 1).
Rohaniawan yang dipandang sesuai
untuk mengantar atau menyelesaikan suattu yadnya erat kaitannya dengan besar
kecilnya yadnya tersebut. Dalam tingkatan yadnya yang besar
patut diselesaikan (dipuput) oleh Sulinggih, yaitu
rohaniawan yang tergolong Dwijati. Sedangkan dalam tingkatan yadnya yang
kecil cukup diantar (dianteb) oleh rohaniawan tingkat eka jati sepertipemangku,
dan yang sejenisnya.
Rohaniawan yang bertugas
mengantar suatu yadnya dalam agama Hindu dikenal dengan
berbagai sebutan. Secara umum sebutan rohaniawan tersebut dibedakan atas dua
golongan yaitu :
1. Rohaniawan yang tergolong dwi
jati atau yang disebut dengan Sulinggih dengan
sebutan :Pedanda, Empu, Dukuh, Resi dan sejenisnya.
2. Rohaniawan yang tergolong eka
jati atau walaka dengan sebutan : Pemangku,
Dukun, Pinandita, Balian, Mangku Dalang dan sejenisnya.
Pemangku adalah
salah satu rohaniawan yang patut diperhitungkan keberadaannya,pemangku hendaknya
mampu memahami dan melaksanakan sesananing kepemangkuannyasehingga
sangatlah penting untuk dibahas lebih lanjut mengenai sesananing seorang pemangkutersebut.
2. SESANANING
PEMANGKU.
Sesananing pemangku dalam
kehidupan sangat dibutuhkan, tuntutan yang sedemikian tinggi dari masyarakat
mewajibkan seeorang pemangku untuk terus meningkatkan dirinya
dalam bidang spiritual, maupun berlaksana dan bertingkah laku sehari-hari dalam
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan sesananya sebagai seorang pemangku.
Kehidupan sebagai Pemangku memiliki
ciri khusus yang mengikat, disebut dengan sasanayang menjadi kode
etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Adapun yang dimaksud dengan sasana
yang menjadi kode etik Pemangku adalah segala aturan-aturan
atau tata tertib yang berhubungan dengan ”Kawikon” (aturan-aturan
kehidupan yang patut dilaksanakan oleh seorangPemangku).
Dalam Agama Hindu sasananing atau
kode etik yang mengikat ini mendapat tempat yang paling utama, karena
didalamnya tecermin nilai-nilai etika keagamaan, yang selalu dipatuhi. Bagi
mereka yang mendalami hidup sebagai pemangku, harus menghayati seluruh
aturan-aturan yang mengikat, baik itu melalui sikap prilaku, maupun kemampuan
sikap spiritualitas yang dimiliki sebagai pemangku. Dengan
mengetahui sasananing atau kode etik ini,
seorang pemangku akan menghindari pelanggaran terhadap sasananing atau
aturan-aturan ke pemangkuan.
1. Pengertian Pinandita
(Pemangku) dan jenisnya.
Dalam agama Hindu, ada
penyebutan istilah tentang pandita dan pinandita.
Kata panditaberasal dari akar kata ”pand”, yang artinya
mengetahui. Penyebutan istilah pandita ini, diberikan kepada
seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan
suci Veda serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana. Dan untuk mendapatkan
tingkat atau statuspandita ini, seseorang harus pula melakukan
upacara penobatan yang disebut ”Diksa”. Dari katapandita inilah
kemudian timbul sebutan untuk pendeta.
Sedangkan kata pinandita,
dasar katanya adalah pandita mendapat sisipan ”in”, yang artinya Di. Jadi
pengertian pinandita disini ialah seseorang yang dianggap
sebagai wakil pandita. Guna mencapai tingkatan atau status pinandita ini
pun melalui upacara/upakara diksa yang dikenal dengan
sebutan ”pawintenan”. Di dalam beberapa lontar dan
juga keputusan dari jawatan agama Propinsi Bali No. 85/Dh.B/SK/U-15/1970
tanggal 20 April 1970 serta keputusan seminar aspek-aspek Agama Hindu di
Amlapura Bali menyebutkan bahwa ada beberapa tingkatan pewintenan, antara lain
:
a. Pewintenan
Saraswati (Mulai
Mempelajari Agama)
b. Pewintenan Bunga (Pewintenan setelah berumah
tangga)
c. Pewintenan Sari (Mulai mempelajari kitab
Suci Veda atau cakepan Lontar)
d. Pewintenan Gede (Menjadi pemangku atau Jro Mangku yang
lazim disebutPinandita).
Untuk mengetahui arti dan
makna pewintenan atau mawinten dalam konteks
hubungan dengan kesucian diri, maka upacara ini dapat kita bedakan
menjadi: pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yajña dan pawintenan yang
berkaitan dengan Rsi Yajña. Pawintenan yang
berkaitan dengan Manusa Yajña adalah Pawintenan
Saraswati dan Pawintenan Bunga, sedangkan yang berkaitan
dengan Rsi Yajña adalah Pawintenan Sari dan Pawintenan
Gede atau Pinandita.
Sedangkan kata pawintenan itu
sendiri berasal dari kata winten, yang dapat diartikan dengan inten
(berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten mengandung
arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya) terang
dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui,
serta menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral
melintang. Makna dari pawintenan di sini tidak lain
mohon waranugraha Sang Hyang Widhi Wasadalam prabawanya
sebagai Sanghyang Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang
Ganamemberikan perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan,
dan Sanghyang Saraswatisebagai pemberi anugerah ilmu pengetahuan
suci Veda. D idalam kelengkapan upacara/upakaranyapawintenan Gede atau pawintenan
Pinandita ini lebih lengkap rerajahan atau
tulisan-tulisan aksara sucinya, dibandingkan dengan pawintenan
Saraswati, Bunga, dan Sari.
Menurut
Keputusan Mahasaba Prisada Hindu Dharma ke-2 tanggal 5 Desember 1968, yang
dimaksud dengan pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan
upacara pewintenan samapai dengan adiksa Widhi tanpa ditapak dan amati
aran. Kata Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang
disamakan artinya dengan “nampa” , “menyangga” atau “memikul beban” atau
“memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini memikul beban atau tanggungjawab
sebagai pelayan atau perantara antara manusia dengan Sang Pencipta (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa) atau dengan kata lain, tannggung jawab sebagai
pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan
masyarakat itu dinamakan Pemangku.
Sedangkan Sesananing asal
katanya dari sesana yang artinya suatu peraturan atau
undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat, atau dengan kata lain sesana
merupakan suatu batasan ugeran prilaku untuk dapat mengetahui
salah dan benar. Adapun manfaat dari dibuatnya sesana tersebut
yaitu untuk mengetahui batas-batas prilaku baik buruk seseorang diantara salah
dan benar. Sedangkan tujuan secara rohaninya yaitu untuk menuntun umat menuju
jalan yang baik dan benar. Dengan mengetahui sesana, maka seeoraqng
akan takut berbuat salah dan dan sangat berhati-hati dalam berperilaku dalam
segala sesuatu yang ia lakukan.
Jadi Sesananing Pemangku adalah
landasan moral yang patut dipedomani oleh seorangpemangku dalam
menjalankan pfofesinya agar ia tetap dipandang sebagai orang yang disucikan dan
sebagai perantara antara umat dengan Ida Bhatara dan
sebaliknya. Landasan moral ini patut dipedomani dalam bertindak dan
berlaksana agar kedudukan sebagai seorang pemangku tetap
dihormati sebagai mana mestinya. Sebagaimana yang telah dijelaskan kedudukan
seorangpemangku setingkat lebih tinggi dari masyarakat pada
umumnya, maka tuntunan moral yang diharapkan oleh masyarakat juga lebih banyak
dari masyarakat biasa. Kedudukan yang lebih tinggi ini juga
yang menyebabkan kedudukan pemangku lebih disoroti dari segala
segi, sehingga sedikit saja lepas dari moral tersebut maka umat akan cepat
menyoroti karena kedudukan pemangkumenjadi panutan bagi umat
didalam mencapai kesejahteraan di dunia maupun di akhirat.
Wewenang, tugas kewajiban serta
penghargaan terhadap pemangku berkaitan erat dengan jenis pura
tempat pemangku itu bertugas. Sebagaimana diuraikan dalam
lontar Raja Purana Gama, dibedakan menjadi dua belas jenis pemangku dilihat
dari Swadharma maupun tempatnya melaksanakan tugas sehari-hari :
1. Pemangku
Pura dalem, Puseh dan Bale Agung.
2. Pemangku Pamongmong.
3. Pemangku
Jan Banggul.
4. Pemangku
Cungkub.
5. Pemangku Nilarta.
6. Pemangku Pandita.
7. Pemangku Bhujangga.
8. Pemangku Balian.
10. Pemangku Lancuban.
11. Pemangku Dalang.
12. Pemangku Tukang.
13. Pemangku Kortenu.
2. Pengendalian diri seorang Pemangku.
Dalam kitab Silakrama ditekankan
bahwa para pandita/pinandita (pemangku) hendaknya dapat
menguasai dan melaksanakan ajaran Panca Yama dan Niyama Brata.
a.
Panca Yama Brata
Jenjang pertama bagi Astangga Yoga adalah Yama.
Yama artinya pengendalian diri tahap pertama. Yama ini terdiri dari lima
bagian, sehingga disebut Panca Yama, yakni terdiri dari :
1. Ahimsa artinya tidak membunuh atau
tidak menyakiti, ini menunjukan bahwa seseorang yang baru memasuki kehidupan
rohani, hendaknya bebas dari segala perbuatan yang menyakiti sesama mahluk.
2. Brahmacari, bagi seseorang yang hendak
mengabdikan dirinya dalam hidup kebenaran dan kesucian diri, suci pikiran,
kata-kata dan perbuatan, maka ia harus hidup sebagai seorang Brahmacari. Demikian yang disebutkan dalam
ajaran yoga. Hal ini ditujukan kepada rohaniawan (pandita/pinandita),
yang dengan sepenuhnya mengikhlaskan hidupnya dengan mengabdi kepada Tuhan.
3. Sathya artinya kebenaran dan
kejujuran. Kejujuran adalah sifat yang selalu dituntut oleh orang yang berbudhi baik,
karena sifat ini akan membawa manusia pada ketenangan.
4. Awyawaharika atau Awyawahara berarti
tidak berselisih, tidak berjual beli dan tidak berbuat dosa karena kepintaran.
5. Astainya atau Asteya artinya
tidak mencuri. Mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa persetujuan yang
bersangkutan. Perbuatan ini adalah perbuatan mementingkan diri sendiri tanpa
memandang betapa sakit dan sengsaranya hati orang yang miliknya diambil oleh
orang lain.
b.
Panca Niyama Brata.
Niyama adalah ajaran pengendalian diri tahap kedua. Seperti
halnya Yama, Niyama inipun juga terdiri dari lima bagian
karena itu disebut Panca Niyama Brata. Rinciannya adalah sebagai berikut
:
1. Akrodha artinya tidak suka marah.
menaklukan kemarahan.
2. Guru Susrusa berarti bhakti berguru.
3. Sauca berarti kesucian lahir
batin.
4. Aharalaghawa artinya makan sepatutnya,
sesuai dengan kebutuhan tubuh.
5. Apramada artinya tidak lalai.
Adapun sasana atau
aturan-aturan yang dijelaskan dalam kitab Silakrama ini,
memberikan suatu arahan dan tujuan agar seseorang pemangku hendaknya
mampu memelihara kesucian didalam dirinya dalam mengemban tugas/misi suci
Tuhan. Baik itu yang bersifat lahiriah yang dituangkan dalam ajaran yama brata,
maupun yang bersifat batiniah yang dituangkan dalam ajaran Niyama Brata.
Ajaran yama dan Niyama brata meletakkan dasar kode
etik atau sasana, pada sistem disiplin diri. Apabila setiap
individu telah tertanam disiplin pribadi yang kokoh, dengan sendirinya apa yang
menjadi tujuan seseorang dalam menempuh kehidupan rohani akan terwujud
kesuciannya.
Untuk melengkapi sasananing pemangku ini, tidak
ada salahnya bila disampaikan ajaran tentang Rwawelas Brataning
Brahmana, yakni suatu ajaran yang berisikan duabelas macam syarat atau
aturan hidup lahir dan bathin bagi para brahmana. Adapun
keduabelas macam syarat atau aturan hidup ini, dimuat dalam kitab Sarasamuccaya
sloka 57, yang menyebutkan sebagai berikut :
”Dharmacca satyam ca tapo damacca
vimatsaritvam
Hristitiksanasuya, yajñacca
danam ca dhritih ksama
Ca mahavratani
dvadaca vai brahmanasya”.
Artinya :
Ini adalah brata sang Brahmana, duabelas
banyaknya, Perincianya : Dharma, satya, tapa, dama,wimarsaritwa,hrih,
titiksa, anusuya, yajña, dana, dhrti, ksama, itulah perinciannya
sebanyak duabelas : dharma dari satyalah sumbernya,
tapa artinya sarira sang sesanayaitu dapat mengendalikan
jasmani dan mengurangi nafsu : dama artinya tenang dan sabar,
tahu menasehati dirinya sendiri. Wimatsaritwa artinya tidak
dengki-irihati, hrihberarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya
jangan sangat gusar, anasuya artinya tidak berbuat dosa, yajña adalah
mempunyai kemauan mengadakan pemujaan; danaadalah memberikan sedekah,
dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, ksamaartinya
tahan sabar dan suka mengampuni ; itulah brata sang brahmana.
Demikian yang
disebutkan dalam kitab Smrti Sarasamuccaya mengenai Rwawelas
Brataning Brahmana, yang juga merupakan ketentuan/ syarat yang perlu
dimiliki oleh para brahmana atau dalam hal ini oleh para sulinggih,
termasuk didalamnya para pinandita (pemangku) .
2. Kewajiban Pemangku
Di dalam konteks
melaksanakan dharma negara dan dharma agama, para pemangku mengemban
tugas dan misi suci Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Yang sangat
mulia. Ada dua hal pokok yang menjadi tugas dan kewajiban pemangku yaitu
:
a. Tugas
seorang pemangku adalah berbuat sesuatu untuk menciptakan
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama di masyarakat yang disebut jagaditha,
dengan cara memberikan tuntunan rohani, pembinaan mental spiritual serta membantu
kehidupan beragama dilingkungan masyarakat. Disinilah sesungguhnya arti penting
daripada loka phala sraya yaitu menjadi sandaran umat dalam
mewujudkan suatu kehidupan yang aman, sentosa dan sejahtera yang
disebut dengan kasukerthan jagat. Disamping berbuat sesuatu untuk
menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup umat, juga memohon keselamatan
negara atau yang disebut dengan ngayasang jagat, dengan cara
melakukan pemujaan setiap hari kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagaimana
yang dilaksanakan dalam surya sewana, yang memiliki dua sasaran dan
tujuan. Pertama, menyucikan diri lahir batin dan kedua memohon keselamatan
negara (ngayasang Jagat). Jadi di dalam pelaksanaan surya
sewana seorang pandita, memohon ke hadapan Sang
Hyang Whidi Wasa, agar beliau Asung kertha nugraha baik
kepada umat maupun negara tercinta, sehingga memperoleh apa yang disebut suka
sadya lan rahayu.
b. Kewajiban pemangku sebagai sulinggih ada
sepuluh jumlahnya, yang disebut denganDasakramaparamartha, yakni :
1.
Tapa.
Teguh dan kuat
pendirian dalam memuja Sang Hyang Widhi (Dewaarcana) dan
melaksanakan dharmaning kawikon serta mengucapkan puja,
japa, mantra dan Veda setiap hari.
2.
Brata.
Melaksanakan
disiplin bathin, mengurangi makan (aharalagawa) dan mengurangi tidur,
tidak melanggar pantangan, meninggalkan pengaruh panca indrya serta
taat melaksanakanyama-niyama Brata.
3.
Yoga
Melatih
pernafasan (pranayama), guna menyeimbangkan stula
sarira dengan suksma sarirasebagai sarana untuk
menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa, dan meleburdasamala pada
diri.
4.
Samadhi
Memusatkan
pikiran ditujukan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga tidak
terpengaruh suatu kondisi luar (nirwikara).
5.
Santa
berpikir cemerlang
dan berpenampilan yang tenang.
6.
Sanmata
berperasaan yang
riang dan gembira meskipun dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup.
7.
Maitri
senang mengatakan
yang baik dan benar serta berprilaku yang baik dan santun.
8.
Karuna
senang bertukar
pikiran dengan sesama. Baik dengan hal yang bersifat wahya, maupun
dengan hal-hal yang bersifat adhyatmika dan mengasihi sarwa
tumuwuh atau semua mahluk.
9.
Upeksa
tahu tentang
perbuatan baik dan buruk, perbuatan benar dan salah serta suka memberi petunjuk
kepada orang yang belum memahami arti baik atau buruk.
10.
Mudhita
mencintai kebenaran
dan memiliki budi pekerti yang luhur cemerlang dalam kehidupan.
Disamping itu seoarang pinandita/pemangku mempunyai
tugas dan kewajiban untuk: mengantarkan upacara yang diselenggarakan di
pura/merajannya, menuntun warganya dalam pendalaman Dharma, dan
menjaga kebersihan dan kesucian pura/merajan. Demikian diungkapkan di sini
mengenai tugas dan kewajiban pemangku, yang patut ditekuni di dalam
melaksanakandharmanya sebagai sulinggih.
3. Wewenang Pemangku
Walaupun status pemangku sebagai
wakil pandita, tentunya memiliki kewenangan didalam menyelesaikan
upacara/upakara (yajña) sepanjang tidak bersifat prinsipil
dan inipun atas seijin dan petunjuk pandita atau nabe yang
bersangkutan. Adapun mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan terbatas pada
tingkat pedudusan alit. Kewenangan lain yang ada pada seorangpemangku yakni
dalam upacara-upacara seperti :
a.
menyelesaikan upacara Bhuta Yajña, sampai
dengan tingkat menggunakan Caru Panca Sata.
b.
Menyelesaikan upacara Manusa Yajña, diberi
wewenang dari mulai bayi lahir sampai dengan otonan dan pawidhi widana tingkat
kecil.
c.
Di dalam menyelesaikan upacara Pitra Yajña,
terbatas sampai dengan mendem sawa(mekingsan Gni).
d.
Membuat tirtha panglukatan/pabersihan
e.
Nganteb upakara piodalan/pujawali di
pura/merajan yang diemongnya sampai batas ayabantertentu.
f.
Nganteb upakara pada upacara/yajña tertentu
di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuputdari pandita
g.
Istilah yang digunakan oleh pemangku adalah “Nganteb” bukan “muput”.
h.
Membantu pelaksanaan yajña tertentu
dari pemangku suatu pura dengan seijinnya
i.
Menggunakan Genta,
j.
Menggunakan mantra, dan mudra tertentu
bila sudah mewinten dengan ayaban bebangkitserta
sudah mendapat bimbingan dan ijin dari pandita
Adapun mengenai busana yang
dipergunakan berikut perlengkapan dari seorangpemangku antara lain :
a. Rambut panjang atau bercukur.
b. Pakaian: destar, baju,
saput (selimut), kain dalam melakukan upacara, semuanya berwarna
putih.
c. Dalam melakukan pemujaan
menggunakan: genta, dulang, pasepan, sangku (tempat air suci
atau tirtha ) bunga, Gandaksata.
Sedangkan penghargaan yang menjadi hak pemangku/pinandita adalah:
1.
Bebas dari ayahan desa;
2.
menerima sesari/bagian sesari;
3.
menerima hasil pelaba pura (bila
ada).
4. Disiplin Pemangku:
1.
Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri
(bathiniah) dengan cara setiap pagimapeningan;
2.
Berpakaian sesuai dengan sesana
kepinanditaan/kepemangkuan;
3.
Mempunyai perlengkapan pemujaan: sebuah dulang, diatasnya
ada ; genta, tempat dupa,pasepan, sangku, sesirat dari daun
lalang, caratan tempat air bersih, botol tetabuhan,
canting, dan bunga. Sebuah kekasang dan Genitri.
4.
Aturan kecuntakaan bagi Pemangku;
a.
Tidak kena cuntaka karena orang lain
b.
Terkena cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah
meninggal dunia
c.
Pemangku istri terkena cuntaka bila haid
5.
Bila kawin.menikah harus mesepuh (mewinten ulang)
dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya,
bersama-sama istrinya.
6.
Pemangku yang dihukum karena tindak pidana (kriminal)
diberhentikan sebagai pemangkuoleh warganya.
7.
Jenasah pemangku tidak boleh
dipendem.
8.
Tidak cemer.
9.
Selalu dislipin untuk tidak membuat tirta apapun,
kecuali hanya memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
5. Larangan –larangan yang
patut dipatuhi seorang Pemangku
Seperti yang termuat dalam lontar Kusumadewa,
sebagai berikut :
Iki Larangan Ki Pemangku
Bratanya :
”Tan wenang mangan ulam : bawi,
sampi.jen ada ngmatiang deweke upami : siap, bebek, djag mati, ika pada tan
wenang pangan.
Ten wenanng njelepin longlongan, muah emper-emper, tan
wenanng negen tenggala, lampit, tambah, sorok, tjongkod, antuk njelang ring
anak siosan, tan wenang njumbah sawa.
Tan wenang bobad ring djatma, tan wenang mangan
paridan sawa, tan wenang kabale ne misi sawa, muah tan wenang adjejuden.
Mangkana parikramaning larangan pemangku jan sampun
nganggen sangkulputih”.
Demikian larangan pemangku yang
termuat dalam lontar Kusuma Dewa, adapun larangan-larangan yang
lain antara lain sebagai berikut :
- Tidak memakan makanan yang tidak
diperbolehkan menurut agama (daging sapi, babi, minuman beralkohol) maupun
makanan yang merugikan kesehatan.
- Jika bisa dalam rangka menyucikan
diri alanngkah baiknya semua jenis daging tidak dimakan.
- Dilarang menyentuh benda-benda
cemer.
- Dilarang berjudi,
- Dilarang kawin lagi. Namun
apabila hendak kawin lagi maka kepemangkuannya hilang dan
kembali lagi melaksanakan upacara pewintenan bersama dengan
istri baru.
- Dilarang ngewintenang
pemangku.
- Karena pemangku kena cuntaka,
maka ia dilarang pergi kerumah /tempat kecuntakan. Hal ini tergantung
kepada Ida Bhatara yang mepica panugrahan. Ada yang melarang,
ada yang memberikan, hanya saja disertai dengan membuat banten segehan dan
melukat setelah datang datang dari tempat kecuntakan.
3. PENUTUP
Sesananing pemangku merupakan suatu etika atau
norma-norma yang harus dilaksanakan dalam menjalani kehidupan sebagai
seorang pemangku. Mengingat dalam kedudukannya di masyarakat pemangku adalah
orang-orang pilihan yang memiliki nilai lebih dari manusia biasa, dimana dapat
dikatakan sebagai penghubung rasa bhakti umat terdapat Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, serta mengingat banyaknya batasan-batasan yang diuraikan dalamsesanananing
pemangku hendaknya mulai dari sekarang Pemangku merubah
diri menuju jati diri seorang pemangku sejati sesuai dengan
aturan yang diuraikan dalam lontar-lontar yang
menguraikan kepemangkuan.
Artikel by : Drs. I Wayan Lipur,
M.Si

Comments